Ilmu Budaya Dasar (Review Film)

Erau Kota Raja



Disini saya akan mereview film indonesia yang berjudul Erau Kota Raja. Review jalan cerita film sendiri akan lebih sedikit karena saya lebih menekankan pada unsur kebudayaan yang terdapat didalamnya.
                Cerita Erau bermula dari ekspedisi seorang jurnalis dari jakarta bernama Kirana yang datang ke Tanah Kutai Tenggarong, Kartanegara untuk meliput segala pernah pernik  alam, budaya, dan sosial yang berada pada daerah ini. Kunjungannya bertepatan dengan diadakannya Festival Erau yang merupakan hajatan terbesar di daerah Kutai. Kirana pergi menjalankan tugasnya dengan perasaan galau pasalnya dia baru saja mengakhiri hubungannya dengan Doni, lelaki yang pernah menjalin hubungan dengan Kirana selama 4 tahun karena Doni tidak juga siap menyanggupi permintaan menikah Kirana.
                Di Kutai ini lah Kirana bertemu dengan Reza, seorang pemuda lulusan kedokteran yang memilih bekerja sebagai pengantar kerajinan tangan khas daerah untuk dipasarkan. Karena suatu sebab, Kirana pun berakhir senantiasa ditemani Reza selama ia disana. Mereka menjelajahi sudut-sudut alam dan menikmati festifal erau bersama. Kedekatan yang berujung masalah Reza dengan ibunya semakin menganga.
                Begitulah singkatnya gambaran alur cerita dari Erau Kota Raja. Kemudian selanjutnya kita bahas tentang unsur kebudayaan yang terdapat didalamnya.
Berbicara tentang Kutai Kartanegara tak akan lengkap tanpa menyinggung pesta rakyat tahunan yang berlangsung di dalamnya, Erau. Erau merupakan salah satu festival budaya tertua di nusantara. Tradisi tahunan ini telah berlangsung selama berabad-abad, seiring perjalanan sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Bisa dikatakan, Erau telah berlangsung sejak masa awal Kesultanan Kutai berdiri.

Erau" merupakan bahasa Kutai yang berarti ramai, hilir mudik, bergembira, dan berpesta ria. Perayaan ini pertama kali dilaksanakan ketika putra tunggal petinggi negeri Jahitan Layar, Aji Batara Agung Dewa Sakti, berusia lima tahun.

Sebagai tanda bahwa si anak tadi diperbolehkan bermain-main keluar rumah, maka diadakan upacara "tijak tanah" dan "mendi ke tepian". Seluruh masyarakat negeri itu pun bergembira dan berpesta dalam aneka hidangan dan hiburan selama 40 hari 40 malam. Kelak anak kecil itu pada awal abad ke-14 menjadi Raja Kutai Kartanegara. Sejak saat itu ritual tersebut selalu digelar saat upacara pengukuhan raja-raja baru.

Warga memadati Museum Mulawarman tempat diadakannya prosesi Beluluh. Beluluh merupakan salah satu prosesi yang ada dalam upacara adat Erau di Tenggarong, Kutai Kartanegara.
Sore seusai azan Ashar, halaman depan Kedaton Kasultanan Kutai Kartanegara yang bergaya art-deco, ramai dikunjungi warga yang menantikan Upacara Beluluh. Tradisi masa lampau ini dilaksanakan di teras bangunan kedaton yang kini menjadi Museum Mulawarman.

Tujuan upacara, supaya Sultan bersih dari unsur-unsur jahat. Prosesi ini dilakukan oleh Dewa dan Belian (shaman istana). Para Dewa itu merupakan perempuan-perempuan berbusana serba kuning, sementara para Belian merupakan para lelaki dengan hiasan membentuk segitiga di kepalanya, hiasan rambut hingga sepinggang, dan bertelanjang dada.

Mereka meluluhkan unsur jahat dengan menggunakan buluh bambu. Upacara Beluluh merupakan dilaksanakan setiap sore selama pagelaran budaya Erau.

Pada malam harinya, para Belian dan Dewa menari bergantian mengelilingi rumbai-rumbai daun kelapa kering yang digantung pada sebuah bangunan kayu tak berdinding di halaman Kedaton. Mereka memohon dan meminta izin kepada roh leluhur supaya selama pelaksanaan Erau masyarakat  mendapatkan berkah dan selamat. Upacara ini akan dilaksanakan pada tiga malam berturut-turut. 

Sementara di tangga masuk Kedaton tampak para prajurit berbusana hitam dengan membawa tombak berdiri bersiaga untuk pelaksanaan Upacara Bapelas. Beberapa keluarga Sultan telah bersiap menyambut tamu di teras. Di depan pintu masuk ruangan utama kedaton telah duduk berjajar para perempuan yang bertugas sebagai Pangkon.

Masing-masing membawa tanaman dapur: melati, jahe, kunyit, kencur, jahe, lengkuas, dan sereh. Umumnya mereka masih ada hubungan darah dengan Sultan.

Para belian mengitari Benyawan pada ritual Merangin dalam Festival Budaya Erau Kutai Kartanegara yang dimulai 30 Juni - 7 Juli 2013. 
Malam itu disajikan tarian-tarian yang tidak hanya dipentaskan oleh bagian keluarga besar kasultanan, tetapi juga salah satu perwakilan negara CIOFF.

Mereka berlenggak-lenggok membawakan tarian Ganjur untuk menghibur Sultan. Selain tari hiburan, para Dewa dan Belian pun melakukan tarian sakral, seperti tarian Dewa Memanah, tari Kanjar Bini dan tari Kanjar Laki.

Mereka menari untuk memuja sukma dan raga Sultan supaya selalu diberi kekuatan untuk memimpin negeri. Mantra-mantar pun menguar ke seisi ruangan utama kedaton.

Duaar!!! Duaar!!! Duaar!!! Sebagian yang hadir sontak terkejut di malam nan melarut. Puncak upacara ditandai dengan luncuran kembang api aneka warna di halaman kedaton, lalu Dewa dan Belian menuruni tangga keluar menuju ke Sungai Mahakam mengambil air suci.

Seorang ibu dari keluarga kasultanan yang bertugas sebagai pangkon berkata kepada saya, "Mereka ke sungai ambil Air Tuli." 

Komentar

Postingan Populer